Skripsi Dan KTI Keperawatan: Pemborosan Akademik
Membaca judul di atas, tolong jangan diterjemahkan mentah, bawa saya tidak mendukung karya tulis ilmiah. Sejak tahun 1987, saya sudah suka menulis. Dari seluruh angkatan saya sekolah, mungkin saya ini makhluk langka. Karena teman-teman sekolah dan kuliah, memang hampir tidak ada yang suka nulis, kecuali: update status di FB, WA atau BBM.
Di forum medsos, misalnya Indonesian Nursing Trainers (INT) dengan anggota 28.000 orang, mereka yang menulis tidak lebih dari 10 orang atau sekitar 0.003%. Sedangkan di forum Suara Perawat yang anggotanya mencapai 80.000 orang, mereka yang gemar menulis juga tidak lebih dari 10 orang, atau sekitar 0,001%. Sebuah prosentase yang amat rendah.
Jangankan professional ‘awam’. Di lingkungan akademik, kampus, minat dosen, tidak perlu soal buku, nulis artikel saja, juga dirasakan berat. Kecuali terpaksa. Misalnya, untuk kepentingan kenaikan pangkat atau jabatan.
Bila ingin melihat karya nyata Perawat Indonesia bernafaskan akademik, yang bernama keren ‘Academic Writing Skills’ ini, tengoklah di toko-toko buku. Lihatlah di sudut ‘Nursing’. Hanya segelintir perawat yang demen menulis. Orangnya, penulisnya, itu-itu saja. Parahnya lagi, banyak sederetan karya merupakan hasil terjemahan.
Melihat kondisi ini, kita mestinya introspeksi, mengapa masih dibayar ‘rendah’, yang beda dengan profesi sebelah. Padahal kita tahu, bahwa tolak ukur profesionalitas seseorang adalah ‘Buku’.
Kita tidak bisa salahkan perawat akan fenomena yang terjadi di negeri ini. Karena perawat kita dididik di lingkungan kampus dengan ‘selera makan’ yang beda. Jika Ustadz nya tidak suka makan Bakso, jangan harap para Santri bakal doyan Bakso.
Jadi, apa hakekatnya diajar menyusun KTI dan Skripsi?
Kalau kita mau jujur, ribuan tumpukan KTI dan Skripsi di Pespustakaan kampus-kampus, baik yang besar maupun kecil, lebih banyak yang mubadzir. Tidak ada manfaatnya. Ada yang malah, maaf, dibuang, atau dibakar. Bukankah ini pemborosan: waktu, tenaga, fikiran, dan tentu saja uang. Ada yang bilang, minimal untuk duit ini dikeluarkan Rp 700.000 per KTI per mahasiswa. Jumlah kampus keperawatan dan kebidanan kita mencapai 600 lebih.
Bila rata-rata per kampus ada 50 saja mahasiswanya, maka pemborosannya mencapai angka Rp 700.000x600x50 = Rp21 Milyar. Itu belum terhitung waktu, tenaga dan fikiran.
Harusnya, kita introspeksi. Bila ini pemborosan, mengapa masih dipaksakan untuk diajarkan? Kita harus melihat realita lapangan. Bahwa penelitian itu penting, tetapi bukan berarti semua perawat ‘dipaksa’ untuk menjadi peneliti. Berikan ruang ‘kemerdekaan’ kepada mereka yang tidak suka menulis. Namun dukung mereka yang suka meneliti.
Duit Rp 21 milyar itu bisa dimanfaatkan untuk membikin Indonesian Nursing Research Center, tanpa membebani mereka yang ‘enggan’ nulis. Mereka akan cepat lulus, bekerja, produktif dan tentu saja ‘happy’.
Menulis ilmiah itu penting, tetapi kalau tidak minat, mereka bukannya tergerak. Justru sebaliknya, mereka akan melakukannya dengan terpaksa. Demi sebuah nilai dan IP, tidak sedikit yang akhirnya bayar. Atau, copy paste karya milik kakak tingkat. Persis ngopy, hanya ‘nama, tanggal dan tahun’ saja yang diganti.
Jadi bagaimana?
KTI dan Skripsi bisa diberikan optional. Pada semester satu, materi Akademic Writing Skills itu wajib. Semua harus tahu, bagaimana cara menulis secara ilmiah. Semua bentuk penugasan tertulis harus secara ilmiah. Kaidahnya, misalnya, sesuai standard Harvard. Untuk level D3 dan S1 tidak perlu, karena mereka bukan peneliti. Sedangkan S2, diberikan kesempatan untuk memilih. Bagi yang ingin lanjut S3, diwajibkan, dengan tambahan jumlah SKS, katakan 4 SKS. Yang ingin jadi dosen, biasanya lanjut S3, silahkan ditambah 4 SKS khusus Thesis ini. Sedangkan yang tidak minat, tidak perlu.
Inilah pendidikan yang berorientasi pada mahasiswa (student oriented), orientasi pada kerja (Job oriented) serta berorientasi pada minat (Interest Oriented).
Sayangnya, kita sering berdalih atas nama ‘Kurikulum’. Kita bilang, itu permintaan kurikulum yang tidak bisa ditawar. Kita sering bilang ingin maju tapi tidak mau usul. Kalaupun usul, kita kuatir dituduh pembelot. Toh, katanya, usulan tidak pernah didengar. Dosen, sering manut-manut, kemudian diterapkan kepada mahasiswa.
Ironisnya, mahasiswa dituntut aktif. Begitu aktif bertanya, termasuk menanyakan korelasi manfaat KTI dan Skripsi bagi lulusan D3 dan S1 di lapangan yang sangat minim, nyatanya tidak dihiraukan.
Intinya, kampus harus kreatif, mahasiswa juga jangan pasif. Menulis itu sangat bagus dan bukti nyata seseorang agar bisa disebut professional.
Menulis dari awal kuliah sangat baik. Secara pribadi, sangat saya dukung. Tapi mengajarkan sesuatu yang sedikit manfaatnya atau bukan pada orang yang tepat di masa pendidikan, tidak lebih dari pemborosan yang tertata.
Barangkali kita perlu nunggu penggede, Menteri Pendidikan Urusan Keperawatan, yang tidak suka nulis, untuk merealisasikan impian ini.
Malang, 12 September 2017
SYAIFOEL HARDY WA 081336691813
Sumber: Grup FB Suara Perawat
Komentar Anda