Mulut Perawat Indonesia Dibungkam - PERAWAT INDONESIA

Header Ads

Mulut Perawat Indonesia Dibungkam

Foto Internet
Tahun 1979, saya mulai masuk pendidikan SPK. Saya masih ingat betul, betapa untuk ketemu Kepala Bidang Keperawatan saja, rasanya sangat takut. Lebih-lebih di Kantor Pendidikan. Dosen, seperti ‘Genderuwo’. Boleh dikata, jarang ada senior yang ramah terhadap yuniornya. Yang paling lebih serem lagi, adalah di Kamar Bersalin.

Lulus tahun 1982, kemudian, saya arungi kehidupan profesi ini lebih dari 30 tahun. Memang saya melihat adanya perubahan. Dua puluh satu tahun di antaranya saya habiskan di luar negeri. Namun, tidak significant.

Kemarin, seorang perawat muda, yang gemar menulis, bercerita. Dia menemui seorang wakil dekannnya di sebuah kampus kondang di Jakarta, dengan maksud menyampaikan berita gembira tentang sebuah buku yang diterbitkannya. Betapapun yang ditulis oleh perawat muda tersebut adalah sebuah ekspresi ketidak-adilan, kesewenang-wenangan, atau tentang keserakahan penggede profesi misalnya, harusnya mendapatkan ‘apresiasi’. Menulis buku, tidak gampang. Belum tentu sang wakil dekan mampu juga melakukannya, betapapun dia seorang doktor.

Sang Wakil Dekan, dengan nada menolak, dengan bangganya mengatakan tentang peran, kedudukan serta jabatan dalam organisasi profesi, juga di kampus. Sebuah sikap yang tidak ubahnya perlakukan, zaman kolonial.

Semalam pula, saya berbicara dengan seorang perawat muda lulusan Ners di Pulau Natuna, yang menyampaikan tentang fenomena yang tengah marak di daerahnya. Dia belum punya STR karena sedang menunggu hasil Ukom. Di sisi lain, di depan matanya, banyak teman-teman yang bisa kerja, meski tanpa STR, baik di RS maupun Puskesmas. Dia ingin ‘berontak’ terhadap ketimpangan ini. Namun jawaban yang diperoleh di hampir semua institusi yang ditemuinya, memperoleh jawaban yang sama: No!

Dia bertanya, apa yang harus dilakukan. Saya jawab, kalau kamu menentang arus, kamu akan digilas. Tetapi, kalau mengikuti arus, memang kamu aman, tetapi tidak bakalan nyaman.

Saudara...

Ada ribuan perawat kita yang tidak berani bicara, tidak mau menulis, tidak bercerita tentang berbagai persoalan yang menimpanya, hanya karena sikap yang tidak profesional dari sejawatnya. Dari seniornya. Dari pejabat-pejabat di daerah mereka tinggal dan bekerja.
Kalaupun berani, hanya sebatas protes dan demo. Itupun hanya di satu dua daerah. Selebihnya, perawat muda masih takut. Takut sekali terhadap risiko jika bersuara. Takut dipecat jika menyampaikan pendapat sejujurnya. Takut tidak naik pangkat jika mengemukakan idenya.

Barangkali inilah yang membuat generasi muda keperawatan kita sulit maju.

Percaya atau tidak, dunia keperawatan kita masih berada dalam genggaman mafia, yang tidak rela jika perawat muda ini mengubah keadaan. Dengan dalih menjunjung tinggi etika profesi dan martabat adat kebangsaan, mulut perawat lebih baik diam dari pada ‘diancam’ dengan berbagai risiko seperti film-film Thriller.

Profesi kita ini, hanya luarnya saja kelihatan damai, tertata dan mengenakan seragam rapi. Padahal, sejatinya, memendam rasa dengki.

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Facebook grup Suara Perawat (SuPer) 11 November 2018 dengan judul "Membungkam Mulut Perawat Indonesia", ditulis oleh Syaifoel Hardy II