22 Masalah Utama Perawat Dan Solusinya
1. Sempitnya peluang.
Solusi: Perlunya penambahan wawasan dan itu harus dimulai saat di bangku kuliah. Bahwa ruang lingkup dunia kerja keperawatan tidak terbatas pada RS, klinik, balai kesehatan atau Puskesmas. Keperawatan bisa menjangkau ke perusahaan, hotel, panti asuhan, penitipan anak, kaum lansia, makanan sehat, tempat permainan anak, pusat tumbuh kembang balita, sentra ibu-ibu hamil, menyusui, dan lain-lain.
2. Lapangan kerja tidak merata.
Solusi: Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak menyediakan lapangan kerja. Lapangan kerja ada itu disesuaikan dengan anggaran baik negara maupun daerah. Masyarakat yang cerdas diharapkan mencari secara jalan proaktif atau aktif lapangan kerja. Jika perlu, membukanya. Bukan hanya berharap dari Pemerintah. Walaupun Pemerintah, pada level tertentu, dengan segala keterbatasannya, mampu menyediakan lapangan kerja. Prinsipnya: kerja apa saja sepanjang baik dan halal pada dasarnya tidak masalah. Jadi, jangan terlalu milih-milih.
3. Gaji di bawah standard.
Solusi: Pada dasarnya system penggajian sudah diatur oleh undang-undang ataupun peraturan, baik pemerintah pusat ataupun daerah. Hanya saja, aplikasinya di lapangan beda. Namun, sepanjang yang bersangkutan, kedua belah fihak setuju dengan jumlah gaji tertentu, ini di luar kendali. Menuntut lembaga untuk dinaikkan, kadang jadi dilemma. Yang tepat, jika ingin dapat yang lebih besar, adalah pindah kerja, khususnya jika sudah memperoleh pengalaman cukup.
4. Standard Pendidikan yang tidak seragam.
Solusi: Kurikulum ditetapkan oleh Pemerintah. Bukan berarti harga mati. Bisa dimodifikasi. Caranya? Dosen-dosen dari kampus yang mumpuni bisa urun-rembug, sharing kiat-kiat modifikasi materi kuliah ataupun praktik mahasiswa yang dimuat dalam kurikulum, tanpa mengubah muatan orisinilnya.
5. Kualitas dosen tidak merata.
Solusi: SDM dosen, fasilitas kampus sangat terasa, tidak merata. Demikian pula kualitas calon mahasiswa daerah. Namun bisa dilakukan semacam pemerataan SDM, misalnya dengan menugaskan dosen-dosen yang berkualitas di Jawa ke luar Jawa dan sharing, mentoring dan monitoring SDM serta kampus-kampus di luar Jawa. Persoalannya, dosen akan menolak dengan berbagai alasan. Harus ada paket atraktif bagi dosen yang ditugaskan untuk misi ini.
6. Penguasaan Bahasa Inggris yang masih memprihatinkan.
Solusi: setuju atau tidak, di era globalisasi ini, penguasaan bahasa Inggris sangat penting. Lagi pula, perawat Indonesia adalah bagian dari anggota International Council of Nurses (ICN). Jadi, tanpa bahasa Inggris, profesionalitas kita ‘dipertanyakan’ perannya di tingkat global. Caranya? Dosen-dosen yang dikirim ke kampus luar negeri diberikan kesempatan untuk berbagi kiatnya. Tambah jumlah SKS bahasa Inggris, adakan event yang mendongkrak minat berbahasa Inggris, student exchange, atau…….kalau perlu, lulus perawat, jika mengantongi 450 score TOEFL saja, tidak perlu muluk-muluk. Satu lagi: manfaatkan perawat yang sudah pernah kerja di luar negeri.
7. Pelatihan berkelanjutan yang mahal.
Solusi: secara berkala, organisasi profesi harus mengupayakan pembentukan sentra-sentra pelatihan (Training Center) di berbagai daerah, sehingga anggota profesi tidak perlu mengeluarkan dana besar buat pelatihan. OP juga bisa melatih trainer serta menularkannya. Ini bisa terwujud dengan memanfaatkan iuran anggota. Anggota bisa dapat discount khusus jika mengikuti pelatihan ini.
8. Minat menulis yang rendah.
Solusi: Setuju atau tidak, tolak ukur professional adalah karya nyata berupa tulisan. Tulisan ini sebagai bukti dokumentasi atau hasil penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini bisa dimulai saat di bangku kuliah. Misalnya dengan mengadakan lomba-lomba menulis, kewajiban menyerahkan karya tulis, bikin buku bersama, pameran buku, atau kelompok lingkar pena perawat. Perawat yang sudah kerja juga perlu mendapatkan apresiasi konkrit jika mereka menulis, bikin buku, artikel, dan lain-lain. Jika tidak, jangan harap perawat bakal doyan menulis.
9. Penelitian yang masih minim.
Solusi: salah dua faktornya adalah rendahnya minat menulis serta tidak adanya pusat penelitian profesi. Dengan meningkatkan minat menulis dan mendirikan semacam lembaga penelitian profesi, penelitian akan otomatis terdongkrak. Tentu saja, harus diimbangi dengan imbalan. Penelitian tanpa imbalan, ibarat menanam pohon tanpa buah.
10. Pelaksanaan Ukom yang tidak sinergis dengan ujian kampus.
Solusi: ada baiknya Ukom diselenggarakan dengan mengadopsi system seperti TOEFL atau IELTS. Peserta ujian boleh milih sesuai jadwal kapan saja dan di mana saja. Fleksibel. Sehingga tidak perlu menunggu berbulan-bulan untuk mengikutinya.
11. STR: system dan distribusi yang tersendat.
Solusi: sepanjang sistemnya masih sentralisasi, sementara secara geografik negeri ini sangat majemuk, distribusi STR akan terhambat. Ditambah lagi dengan pemanfaatan SDM yang kurang maksimal. Jadi, akan lebih efektif lagi jika menggunakan system desentralisasi, memanfaatkan SDM dari profesi yang sama. Dengan komando tetap dari pusat. Bila perlu, outsourcing. Hasilnya tidak harus menunggu lama. Kalau perlu langsung print out STR sesudah Ukom.
12. Alergi dengan peluang kerja di luar negeri.
Solusi: mestinya, sebagai tenaga professional di era global ini tidak ada istilah dalam dan luar negeri dalam persoalan kerja. Pengenalannya bisa dilakukan melalui program yang terstruktur sejak di bangku kuliah. Harus diberikan wawasan global. Bekerja di luar negeri juga dalam rangka misi kemanusiaan, bukan hanya soal peningkatan kesejahteraan.
13. Membengkaknya tenaga sukarelawan.
Solusi: ini terjadi karena pertama, lembaga tidak mampu membayar layak. Kedua, professional butuh pengalaman. Dua hal ini jika tidak diatasi, maka kesenjangan tidak bakal selesai. Lembaga memang harus mampu membayar. Kedua, professional harus tegas berani menolak.
14. Mindset entrepreneur yang rendah.
Solusi: Profesi keperawatan identic dengan misi kemanusiaan, bukan kewirausahaan. Karena itu masih banyak ditemui mereka yang rela kerja tanpa dibayar. Padahal, mereka yang mempekerjakan perawat itu adalah pebisnis. Maka perlu diadakan mata kuliah bisnis profesi sejah di bangku kuliah. OP juga diharapkan menyemarakkan kiat-kiat membangun bisnis dalam bentuk seminar maupun workshop.
15. Batasan praktik keperawatan yang terkesan abu-abu.
Solusi: harus ada batasan praktik yang tegas, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh professional. Ini harus diikuti dengan sangsi. Jika tidak, akan terjadi malpraktik atau penyalahgunaan wewenang yang bakal mencoreng nama baik profesi.
16. Pengembangan perawat di daerah terpencil yang tersendat.
Solusi: harus ada program khusus untuk masalah ini sebagai bagian dari prioritas, termasuk jumlah SKP praktik mereka, agar tidak kesulitan hanya karena ingin hadiri seminar atau workshop untuk nambah SKP, mereka ternyata harus berjalan 2 hari 2 malam. Mereka juga perlu mendapatkan program pelatihan khusus yang terjadwal. Aspirasi mereka perlu diakomodasi. Jangan dicampuradukkan dengan professional kota atau daerah yang masih mudah dijangkau.
17. Tenaga Honorer yang berkepanjangan.
Solusi: Dibentuk sebacam divisi dalam OP untuk membina tenaga kerja yang masuk dalam kategori ini, sehingga tidak harus berkepanjangan. Misalnya, tenaga honorer diarahkan: menekuni bisnis, alih profesi, atau ke luar negeri. Jika ini, masalah tenaga honorer di Indonesia tidak akan pernah berakhir.
18. KKN di dalam lembaga, negeri atau swasta.
Solusi: sepanjang kita tidak tegas, praktik KKN tidak akan berakhir. Pertama, harus ada sangsi tegas. Kedua, professional harus berani menolak. Jadi, meski ada yang meminta, jika professional menolak, praktik kolusi, korupsi dan nepotismes, tidak bakal hidup.
19. Tidak tersedianya lembaga rekrutmen khusus perawat dalam dan luar negeri.
Solusi: harusnya ada lembaga swasta atau OP yang mengurus rekrutmen perawat, baik yang fresh graduate maupun yang berpengalaman. Sehingga perawat tidak perlu mencari sendiri. Lembaga ini bisa memberi advokasi atau rekomendasi, termasuk besarnya gaji. Hanya saja harus disepakati. Jika ini terjadi, maka tidak bakal ada perawat yang dibayar murah, di bawah standard.
20. Lulusan Skep tanpa Ners terlantar padahal secara akademik lebih tinggi dari Diploma.
Solusi: OP bisa memberikan masukan, bahwa lulusan Skep tanpa ners ini, meskipun belum bisa ikut Ukom, namun mampu bekerja, misalnya sebagai Assistant Nurse atau caregiver. Namun hak ini perlu dikuatkan dalam bentuk dokumen. Sehingga tidak terjadi pengangguran jebolan Skep. Minimal, mereka tetap bisa kerja baik di RS, klinik maupun Puskesmas, dengan kompetensi yang berbeda.
21. Rendahnya minat memasuki dunia Politik.
Solusi: jika professional tidak terjun dan main ke politik, maka mereka yang terjun ke politik akan memainkan professional. Kita tinggal pilih, mau jadi pemain atau dipermainkan.
22. Solidaritas sesama profesi yang rendah.
Solusi: perbedaan itu wajar. Dua otak, secara anatomi sama, namun isinya beda. Perlu wadah atau fasilitas guna menampung aspirasi perbedaan pendapat dalam profesi ini, sehingga yang demo bukan berarti preman. Yang pro, bukan pula berarti manut.
Penulis : Syaifoel Hardy/supergrup
Editor : Suara Perawat
Komentar Anda